Jakarta | MUIJakarta : Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bertekad menjadikan Ibu Kota sebagai pusat perekonomian Indonesia dan menargetkan masuk dalam 50 besar kota perekonomian dunia pada tahun 2030, dengan menjadikan ekosistem ekonomi syariah sebagai pilar utama pertumbuhan.
Komitmen ini mengemuka dalam Lokakarya dan Focus Group Discussion (FGD) Kongres Ekonomi Umat ke-II Provinsi DKI Jakarta bertajuk “Membangun Ekosistem Ekonomi Syariah Jakarta yang Inklusif, Kolaboratif, dan Berkelanjutan” di The Sultan Hotel & Residence, Jakarta, yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kamis (27/11/25).
Acara yang dibuka dengan keynote dari Ketua Umum MUI DKI Jakarta KH. Muhammad Faiz dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin ini, menyoroti pentingnya kolaborasi dan optimalisasi potensi umat Islam dalam menopang perekonomian daerah.
Target Perekonomian dan Inflasi Terkendali

Lokakarya dan Focus Group Discussion (FGD) Kongres Ekonomi Umat ke-II Provinsi DKI Jakarta bertajuk “Membangun Ekosistem Ekonomi Syariah Jakarta yang Inklusif, Kolaboratif, dan Berkelanjutan” di The Sultan Hotel & Residence, Jakarta, yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kamis (27/11/25).
Foto: MUI Jakarta
Suharini Eliawati, M.Si., Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, mengungkapkan bahwa saat ini peringkat perekonomian Jakarta berada di urutan 71 dunia. Target ambisius untuk melonjak ke posisi 50 besar dunia pada 2030 dipastikan tidak bisa dicapai sendiri oleh Pemprov DKI.
”Saat ini investasi kita ada pada angka 204,2 triliun,” ujar Suharini.
“Dengan adanya UU Nomor 2 Tahun 2024, meskipun Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota, kita pastikan Jakarta akan menjadi pusat perekonomian di Indonesia. Ekonomi syariah menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan,” tegasnya.
Suharini juga menyoroti perlunya menjaga inflasi agar tetap “terjaga dan terkendali.” Ia menawarkan tiga skenario pertumbuhan ekonomi, dengan skenario optimis mencapai 6,08% jika seluruh pihak, termasuk sektor ekonomi syariah, berpartisipasi aktif.
Mandat Halal dan Potensi Zakat Belum Optimal
Pembicara lain menyoroti perkembangan dan tantangan dalam sektor ekonomi syariah.
Mursidi, Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta, menjelaskan bahwa ekonomi dan keuangan syariah dengan semangat keadilan mendukung stabilitas sistem keuangan. Bank Indonesia secara aktif mendukung rantai nilai halal terintegrasi dan berdaya saing serta melaksanakan business matching pembiayaan syariah bagi UMKM.
Sementara itu, Bukhari Muslim dari Bidang Registrasi Halal BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) mengingatkan tentang mandat wajib sertifikasi halal.
”Per 17 Oktober 2026, semua jenis makanan dan minuman harus bersertifikat halal. Kalau tidak, tidak boleh diperjualbelikan,” tegas Bukhari.
BPJPH berupaya membantu UMKM, terutama rumah makan khas daerah, untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri melalui program sertifikasi halal gratis yang didanai dari CSR perusahaan besar.
Dari aspek filantropi Islam, Ahmad Abu Bakar MM, Kepala Baznas Bazis DKI Jakarta, menyampaikan bahwa potensi zakat, infak, dan sedekah (ZIS) di DKI Jakarta mencapai 64 triliun per tahun. Namun, yang baru terkumpul dan dikelola Baznas Bazis DKI baru sekitar 400 miliar rupiah, menunjukkan kesadaran umat yang masih relatif rendah.
”Potensi zakat se-Indonesia itu ada 325 triliun. Artinya kita masih butuh perjuangan,” kata Ahmad Abu Bakar, seraya menekankan perlunya meningkatkan kepercayaan muzaki (pemberi zakat) agar menunaikan ZIS melalui lembaga resmi, yang pada akhirnya akan melipatgandakan hasil pengumpulan.
Pemberdayaan Umat Jadi Solusi Kemiskinan
Bambang Suprihadi, Pimpinan Masjid Raya Bintaro Jaya melalui program Bank Infak, menawarkan model pemberdayaan ekonomi umat berbasis masjid. Gerakan ini telah membantu 1.700 UMKM dengan dana bergulir mencapai Rp 8,5 miliar.
”Kami adalah lembaga pemberdayaan ekonomi umat berprinsip syariah qardhul hasan, tanpa margin atau riba,” jelas Bambang.
“Dari 1.700 UMKM yang kami bantu, tingkat Non-Performing Financing-nya nol (zero). Ini membuktikan mereka yang kecil ini patuh dan berintegritas untuk membayar,” tambahnya.
Bambang menegaskan bahwa charity atau bantuan sosial tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan, melainkan pemberdayaan ekonomi umat yang bisa menjadi solusi, sekaligus mengubah status mustahik (penerima zakat) menjadi muzaki (pemberi zakat). (***)








